Pendidikan jaitu tuntunan didalam hidup tumbuhja anak-anak. Adapun maksudja pendidikan jaitu: menuntun segala kekuatan kodrat jang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggauta masjarakat dapatlah mentjapai keselamatan dan kebahagiaan jang setinggi-tingginja. (Karja Ki Hadjar Dewantara, Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Jogjakarta, 1961, h.20).
Orientasi pendidikan dari pengertian Ki Hadjar Dewantara adalah memanusiakan manusia (peserta didik) berdasar kodrat dari Sang Pencipta sehingga martabat kemanusiaannya tercapai. Maka guru memiliki peran sebagai “penuntun” peserta didik menuju ke arah orientasi pendidikan. Sebagai penuntun guru tidak memiliki hak veto menjadikan peserta seperti kehendak guru, pemerintah (negara). Melainkan menumbuh kembangkan peserta didik dengan modal seluruh potensi dan kodrat Sang Pencipta dalam diri anak.
Konsekuensinya kodrat peserta didik sungguh-sungguh dihargai. Guru dengan berbagai macam metode menggali potensi peserta didik secara mendalam. Agar peserta didik mengetahui keseluruhan potensi dirinya sendiri. Guru bukannya mensterilkan potensi peserta didik karena tidak sesuai dengan kemauann atau kehendak guru.
Kurikulum
Memang guru memiliki kesulitan tersendiri. Karena guru terbatasi dengan kurikulum bentukan negara (pemerintah). Guru wajib melaksanakan ketentuan kurikulum. Guru dituntut untuk menyelesaikan kurikulum. Hasil proses belajat mengajar guru kepada peserta didik dievaluasi dengan menggunakan pelaksanaan Ujian Nasional. Dari sini nampak benang merahnya bahwa pelaksanaan Ujian Nasional sesungguhnya jauh dari cita-cita pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara.
Mencermati kurikulum saat ini, nampak ada jurang pemisah antar kemauan kurikulum dan esensi pendidikan. Pendidikan adalah suatu ilmu pengetahuan yang persoalan khasnya adalah menumbuhkembangkan potensi manusia menjadi semakin dewasa dan matang (murity human potents). Jadi filsafat pendidikan mempunyai persoalan sentral berupa hakikat pematangan potensi manusia (Suparlan, h.93).
Kurikulum mestinya dibuat agar melalui proses belajar mengajar peserta didik mencapai ilmu pengetahuan berlandaskan kedewasaan dan kematangan melalui upaya-upaya menumbuhkembangkan peserta didik. Peserta didik mestinya menempati posisi sebagai subjek dari seluruh dimensi pendidikan. Bukannya peserta didik ditempatkan sebagai objek kebijakan. Peserta didik diisi hanya berdasar ketentuan kurikulum. Peserta didik hanya dipakai sebagai objek pencapaian kepentingan pemerintah (negara). Peserta didik sebagai objek pencapaian status pembuat kebijakan melalui standarisasi.
Ditengah-tengah munculnya berbagai produk kebijakan dibidang pendidikan, haruslah diingat, bahwa pendidikan itu hanja suatu tuntunan didalam hidup tumbuhnja anak-anak kita. Ini berarti, bahwa hidup tumbuhnja anak-anak itu terletak diluar ketjakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai machluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratja sendiri (Ki Hadjar Dewantara, h. 21).
Selain sebagai penuntun, guru berfungsi membangun atmosfir bagi peserta didik. Ada pun kondisi atmosfir tersebut mengkondisikan agar peserta didik berada dalam keadaan yang pas untuk mencapai kodrat dirinya sendiri. Guru dengan segala kompetensi berupaya menciptakan atomosfir memanusiawikan peserta didik. Bukannya guru malah mematikan kodrat peserta didik.
Mematikan kodrat peserta didik, seperti, melecehkan, kurang menghargai, bahkan bertindak kekerasan baik secara fisik maupun psikologis. Atmosfir tersebut memang dibangun butuh waktu, tidak cukup satu hari, satu minggu, satu bulan tetapi butuh proses terus menerus dari pihak guru. Dan, pihak sekolah perlu mengupayakan bagi guru mendapatkan pelatihan-pelatihan bagi menciptaan atmosfir yangg manusiawi.
Sistem Pendidikan Sekolah
Selain guru, perlu dicermati adalah sistem pendidikan di sekolah. Setiap sekolah beracuan pada sistem pendidikan nasional. Namun setiap sekolah memiliki wilayah untuk membangun dirinya sesuai dengan spirit sekolah.
Maka spirit sekolah dapat berjalan diwujudkan lewat sistem pendidikan sekolah. Sasaran khusus sistem pendidikan sekolah yaitu pertama, menumbuhkan 'kesadaran' peserta didik terhadap persoalan kehidupan yang ada dan yang bakal ada. Kedua, membentuk 'kemampuan' berupa kecakapan dan ketrampilan untuk dapat mengatasi setiap persoalan yang ada dan kemampuan menyikapi secara tepat persoalan yang bakal terjadi di masa depan (Filsafat Pendidikan, Suparlan Suhartono, M.Ed., Ph.d., Ar-Ruzzmedia, Jogjakarta, 2008, h.85).
Peserta didik memiliki kehidupan di tengah masyarakat. Dalam masyarakat ada banyak masalah dengan penyikapan berbeda-beda. Peserta didik ada dalam masyarakat dan pasti menghadapi masalah. Maka melalui pendidikan hendaknya sistem pendidikan sekolah, tidak hanya mentransfer pengetahuan saja, melainkan juga, menyiapkan peserta didik menghadapi masalah.
Bahkan berdasar pengetahuan dari pendidikan disekolah peserta didik mampu membaca persoalan-persoalan dari realitas sosial. Pengetahuan dari sekolah hendaknya mampu membangkitkan kesadaran untuk membaca masalah dari realita sosial. Masalah dari realitas sosial baik yang ada saat ini terlebih yang masalah yang akan datang.
Kenyataannya, peserta didik belum mampu membaca masalah dari realitas sosial yang ada. Bahkan sebaliknya, peserta didik menjadi maslaah dalam masyarakat, contohnya menumpuknya pengangguran intelektual dalam masyarakat, perilaku menyimpang dengan pelaku peserta didik. Ditengah perubahan sosial, peserta didik terbawa arus perubahan sosial yang negatif. Kondisi tersebut sangat disayangkan.
Alternatif Solusi
Perubahan sosial pasti terjadi dan memberi pengaruh bagi peserta didik. Tetapi peserta didik gamang melihat dan menyikapinya. Karena peserta didik selama berproses dalam pendidikan potensi kodratinya dinomorduakan. Peserta didik menjadi korban dari sistem pendidikan yang jauh memperhatikan potensi kodratinya. Tidak sedikit, peserta didik menyikapi perubahan dengan sloga “yang penting aku... aku beda.” Padahal perubahan tidak cukup, yang penting beda.
Manusia lahir dengan membawa potensi kodrat berupa tri-potensi kejiwaan, yaitu cipta, rasa dan karsa. Manusia terdorong melakukan perubahan. Perubahan bukan hanya membuat perbedaan, melainkan suatu perubahan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya (baca: peserta didik) (Suparlan, h. 78-79).
Sistem pendidikan melupakan bahwa proses pendidikan hendaknya membentuk mansia muda yang memiliki kemampuan lebih. Kemampuan lebih tersebut adalah bermanfaat bagi orang lain. Memiliki nilai guna. Bermakna bagi lingkungan sekitar. Bukannya hanya sekedar ada, tetapi menghidupkan lingkungan. Pengetahuan selama berproses pendidikan hendaknya membangkitkan kesadaran diri sendiri sehingga nantinya bermakna bagi orang lain, bermanfaat bagi lingkungan. Bermanfaat dengan berdasar potensi kodratinya masing-masing. Potensi kodrati peserta didik jika ditumbuhkankembangkan dalam atomisfir ideal mampu memberi nilai guna.
Acara
Inti manusia (peserta didik) memperoleh pendidikan adalah mampu memberikan perubahan. Perubahan tidak hanya asal perubahan secara alamiah semata tetapi proses perubahan secara terstruktur dan terukur serta bertahap.
Pendidikan menanamkan orientasi dasar manusia mampu membuat perubahan. Untuk membuat perubahan manusia harus memiliki daya kompetensi (keahlian), kecakapan (capability), ketrampilan (skill) hidup. Ketiganya berakar dari potensi kodrat yang ada didalam diri manusia berupa rasa, karsa dan cipta. 'Rasa' berhubungan dengan wawasan hidup. 'Karsa' berkaitan dengan dorongan hidup. Dan, 'cipta' berkorelasi dengan kreativitas hidup (Suparlan, h.179)
Ketiga variabel di atas sungguh perlu dicermati. Dan, diupayakan ditengah-tengah kepadatan sistem pendidikan nasional yang memang jauh dari esensi pendidikan. Maka salah satu upaya adalah menterjemahkan ketiga variabel tersebut.
Gagasan di atas diterjemahkan, bahwa pendidikan adalah suatu proses yang tidak hanya terbatas pada pembelajaran untuk sekedar mengetahui suatu objek (to know something what), tetapi berlanjut pada keahlian dan ketrampilan dalam berkreasi dan berproduksi (to be able to create or produce something) (Suparlan, h.95).
Penutup
Goal pendidikan selain peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan, adalah manusia (Peserta didik) bermartabat bagi dirinya dan lingkungan masyarakat serta di hadapan Sang Pencipta. Mengingat untuk menempuh pendidikan membutuhkan biaya mahal maka hendaknya pendidikan menghasilkan buah yang bermanfaat terlebih bermartabat. Semoga !!
Penulis
Kukuh Widyatmoko
Dosen Pascasarjana Program Pendidikan IPS Universitas Kanjuruhan Malang,
Narasumber Solusi Agama Katolik, Prog 1 94,6 FM RRI Malang
Dosen Akademi Perawat Panti Waluya Malang
Penulis Lepas berbagai media cetak dan digital
Guru SMAK Santa Maria Malang
Pengelolah http://sosiologioutofthebox.blogspot.com
Tinggal di :
Jalan Janti Barat C Dalam / 3 Malang 65148
Telp 087859585572
Orientasi pendidikan dari pengertian Ki Hadjar Dewantara adalah memanusiakan manusia (peserta didik) berdasar kodrat dari Sang Pencipta sehingga martabat kemanusiaannya tercapai. Maka guru memiliki peran sebagai “penuntun” peserta didik menuju ke arah orientasi pendidikan. Sebagai penuntun guru tidak memiliki hak veto menjadikan peserta seperti kehendak guru, pemerintah (negara). Melainkan menumbuh kembangkan peserta didik dengan modal seluruh potensi dan kodrat Sang Pencipta dalam diri anak.
Konsekuensinya kodrat peserta didik sungguh-sungguh dihargai. Guru dengan berbagai macam metode menggali potensi peserta didik secara mendalam. Agar peserta didik mengetahui keseluruhan potensi dirinya sendiri. Guru bukannya mensterilkan potensi peserta didik karena tidak sesuai dengan kemauann atau kehendak guru.
Kurikulum
Memang guru memiliki kesulitan tersendiri. Karena guru terbatasi dengan kurikulum bentukan negara (pemerintah). Guru wajib melaksanakan ketentuan kurikulum. Guru dituntut untuk menyelesaikan kurikulum. Hasil proses belajat mengajar guru kepada peserta didik dievaluasi dengan menggunakan pelaksanaan Ujian Nasional. Dari sini nampak benang merahnya bahwa pelaksanaan Ujian Nasional sesungguhnya jauh dari cita-cita pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara.
Mencermati kurikulum saat ini, nampak ada jurang pemisah antar kemauan kurikulum dan esensi pendidikan. Pendidikan adalah suatu ilmu pengetahuan yang persoalan khasnya adalah menumbuhkembangkan potensi manusia menjadi semakin dewasa dan matang (murity human potents). Jadi filsafat pendidikan mempunyai persoalan sentral berupa hakikat pematangan potensi manusia (Suparlan, h.93).
Kurikulum mestinya dibuat agar melalui proses belajar mengajar peserta didik mencapai ilmu pengetahuan berlandaskan kedewasaan dan kematangan melalui upaya-upaya menumbuhkembangkan peserta didik. Peserta didik mestinya menempati posisi sebagai subjek dari seluruh dimensi pendidikan. Bukannya peserta didik ditempatkan sebagai objek kebijakan. Peserta didik diisi hanya berdasar ketentuan kurikulum. Peserta didik hanya dipakai sebagai objek pencapaian kepentingan pemerintah (negara). Peserta didik sebagai objek pencapaian status pembuat kebijakan melalui standarisasi.
Ditengah-tengah munculnya berbagai produk kebijakan dibidang pendidikan, haruslah diingat, bahwa pendidikan itu hanja suatu tuntunan didalam hidup tumbuhnja anak-anak kita. Ini berarti, bahwa hidup tumbuhnja anak-anak itu terletak diluar ketjakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai machluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratja sendiri (Ki Hadjar Dewantara, h. 21).
Selain sebagai penuntun, guru berfungsi membangun atmosfir bagi peserta didik. Ada pun kondisi atmosfir tersebut mengkondisikan agar peserta didik berada dalam keadaan yang pas untuk mencapai kodrat dirinya sendiri. Guru dengan segala kompetensi berupaya menciptakan atomosfir memanusiawikan peserta didik. Bukannya guru malah mematikan kodrat peserta didik.
Mematikan kodrat peserta didik, seperti, melecehkan, kurang menghargai, bahkan bertindak kekerasan baik secara fisik maupun psikologis. Atmosfir tersebut memang dibangun butuh waktu, tidak cukup satu hari, satu minggu, satu bulan tetapi butuh proses terus menerus dari pihak guru. Dan, pihak sekolah perlu mengupayakan bagi guru mendapatkan pelatihan-pelatihan bagi menciptaan atmosfir yangg manusiawi.
Sistem Pendidikan Sekolah
Selain guru, perlu dicermati adalah sistem pendidikan di sekolah. Setiap sekolah beracuan pada sistem pendidikan nasional. Namun setiap sekolah memiliki wilayah untuk membangun dirinya sesuai dengan spirit sekolah.
Maka spirit sekolah dapat berjalan diwujudkan lewat sistem pendidikan sekolah. Sasaran khusus sistem pendidikan sekolah yaitu pertama, menumbuhkan 'kesadaran' peserta didik terhadap persoalan kehidupan yang ada dan yang bakal ada. Kedua, membentuk 'kemampuan' berupa kecakapan dan ketrampilan untuk dapat mengatasi setiap persoalan yang ada dan kemampuan menyikapi secara tepat persoalan yang bakal terjadi di masa depan (Filsafat Pendidikan, Suparlan Suhartono, M.Ed., Ph.d., Ar-Ruzzmedia, Jogjakarta, 2008, h.85).
Peserta didik memiliki kehidupan di tengah masyarakat. Dalam masyarakat ada banyak masalah dengan penyikapan berbeda-beda. Peserta didik ada dalam masyarakat dan pasti menghadapi masalah. Maka melalui pendidikan hendaknya sistem pendidikan sekolah, tidak hanya mentransfer pengetahuan saja, melainkan juga, menyiapkan peserta didik menghadapi masalah.
Bahkan berdasar pengetahuan dari pendidikan disekolah peserta didik mampu membaca persoalan-persoalan dari realitas sosial. Pengetahuan dari sekolah hendaknya mampu membangkitkan kesadaran untuk membaca masalah dari realita sosial. Masalah dari realitas sosial baik yang ada saat ini terlebih yang masalah yang akan datang.
Kenyataannya, peserta didik belum mampu membaca masalah dari realitas sosial yang ada. Bahkan sebaliknya, peserta didik menjadi maslaah dalam masyarakat, contohnya menumpuknya pengangguran intelektual dalam masyarakat, perilaku menyimpang dengan pelaku peserta didik. Ditengah perubahan sosial, peserta didik terbawa arus perubahan sosial yang negatif. Kondisi tersebut sangat disayangkan.
Alternatif Solusi
Perubahan sosial pasti terjadi dan memberi pengaruh bagi peserta didik. Tetapi peserta didik gamang melihat dan menyikapinya. Karena peserta didik selama berproses dalam pendidikan potensi kodratinya dinomorduakan. Peserta didik menjadi korban dari sistem pendidikan yang jauh memperhatikan potensi kodratinya. Tidak sedikit, peserta didik menyikapi perubahan dengan sloga “yang penting aku... aku beda.” Padahal perubahan tidak cukup, yang penting beda.
Manusia lahir dengan membawa potensi kodrat berupa tri-potensi kejiwaan, yaitu cipta, rasa dan karsa. Manusia terdorong melakukan perubahan. Perubahan bukan hanya membuat perbedaan, melainkan suatu perubahan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya (baca: peserta didik) (Suparlan, h. 78-79).
Sistem pendidikan melupakan bahwa proses pendidikan hendaknya membentuk mansia muda yang memiliki kemampuan lebih. Kemampuan lebih tersebut adalah bermanfaat bagi orang lain. Memiliki nilai guna. Bermakna bagi lingkungan sekitar. Bukannya hanya sekedar ada, tetapi menghidupkan lingkungan. Pengetahuan selama berproses pendidikan hendaknya membangkitkan kesadaran diri sendiri sehingga nantinya bermakna bagi orang lain, bermanfaat bagi lingkungan. Bermanfaat dengan berdasar potensi kodratinya masing-masing. Potensi kodrati peserta didik jika ditumbuhkankembangkan dalam atomisfir ideal mampu memberi nilai guna.
Acara
Inti manusia (peserta didik) memperoleh pendidikan adalah mampu memberikan perubahan. Perubahan tidak hanya asal perubahan secara alamiah semata tetapi proses perubahan secara terstruktur dan terukur serta bertahap.
Pendidikan menanamkan orientasi dasar manusia mampu membuat perubahan. Untuk membuat perubahan manusia harus memiliki daya kompetensi (keahlian), kecakapan (capability), ketrampilan (skill) hidup. Ketiganya berakar dari potensi kodrat yang ada didalam diri manusia berupa rasa, karsa dan cipta. 'Rasa' berhubungan dengan wawasan hidup. 'Karsa' berkaitan dengan dorongan hidup. Dan, 'cipta' berkorelasi dengan kreativitas hidup (Suparlan, h.179)
Ketiga variabel di atas sungguh perlu dicermati. Dan, diupayakan ditengah-tengah kepadatan sistem pendidikan nasional yang memang jauh dari esensi pendidikan. Maka salah satu upaya adalah menterjemahkan ketiga variabel tersebut.
Gagasan di atas diterjemahkan, bahwa pendidikan adalah suatu proses yang tidak hanya terbatas pada pembelajaran untuk sekedar mengetahui suatu objek (to know something what), tetapi berlanjut pada keahlian dan ketrampilan dalam berkreasi dan berproduksi (to be able to create or produce something) (Suparlan, h.95).
Penutup
Goal pendidikan selain peserta didik memperoleh ilmu pengetahuan, adalah manusia (Peserta didik) bermartabat bagi dirinya dan lingkungan masyarakat serta di hadapan Sang Pencipta. Mengingat untuk menempuh pendidikan membutuhkan biaya mahal maka hendaknya pendidikan menghasilkan buah yang bermanfaat terlebih bermartabat. Semoga !!
Penulis
Kukuh Widyatmoko
Dosen Pascasarjana Program Pendidikan IPS Universitas Kanjuruhan Malang,
Narasumber Solusi Agama Katolik, Prog 1 94,6 FM RRI Malang
Dosen Akademi Perawat Panti Waluya Malang
Penulis Lepas berbagai media cetak dan digital
Guru SMAK Santa Maria Malang
Pengelolah http://sosiologioutofthebox.blogspot.com
Tinggal di :
Jalan Janti Barat C Dalam / 3 Malang 65148
Telp 087859585572
0 comments:
Post a Comment