Wednesday, May 27, 2009

PR Ujian Nasional Tahun 2007

Tampaknya rakyat semakin sulit menangkap arah kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Jangankan rakyat, guru sendiri sebagai pendidik di garis depan lebih sering "ditinggalkan" pemerintahan dalam membangun pendidikan di Tanah Air ini.

Polemik pengelolaan pencerdasan kehidupan bangsa seperti diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 masih belum usai. Masih ditambah lagi segera berubahnya kurikulum dari KBK (sering dipelesetkan sebagai Kurikulum Bikin Kurus) ke Kurikulum 2006, yang dimulai dimasyarakatkan sebagai kurikulum tingkat satuan pendidikan alias kurikulum sekolah.

Memang ada keistimewaan Kurikulum 2006, yaitu guru diberi wadah untuk mengembangkan dan menentukan sendiri kompetensi setiap mata pelajaran kepada siswa. Seiring dengan gagasan tersebut, guru "dihadang" kegigihan lembaga eksekutif, yaitu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), untuk tetap mempertahankan pelaksanaan ujian nasional (UN) 2007.

Entah apa yang ada di benak dan pikiran para pembuat kebijakan dalam hal pencerdasan bangsa. Tidak hanya satu orang cerdik pandai yang menolak UN sebagai "hakim" kelulusan siswa. Tetapi, toh, Mendiknas juga bersikukuh mempertahankan pendapatnya sendiri tanpa mau mengakomodasi suara rakyat.

Proses belajar-mengajar tahun pelajaran 2006/2007 sudah berjalan beberapa bulan, tetapi sampai tulisan ini dibuat pemerintah belum juga mengeluarkan keputusan mengenai apa saja mata uji nanti. Para guru masih mendapat informasi yang simpang siur, sementara proses belajar-mengajar berjalan terus.

Boleh dikatakan dalam perjalanan tahun pelajaran ini, para pendidik secara mendadak mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima "penumpang gelap" yang bernama kurikulum di tingkat satuan pelajaran.

Kalau guru tidak boleh mengeluh tentang munculnya kebijakan pendidikan yang tambal sulam ini, pemerintah hendaknya perlu sungguh-sungguh mengurangi kebijakan yang menimbulkan situasi kontraproduktif. Pemerintah maunya tingkat kecerdasan siswa tinggi, sisi lain kebijakannya sama sekali tidak mendukung guru untuk meraih tujuan tersebut.

Guru yang berada di garis depan tentu membawa tanggung jawab yang tidak ringan dan tidak sepele. Masa depan anak bangsa sungguh ada di pundak para guru. Setiap guru tentu bercita-cita siswanya lulus, tetapi jika pemerintah membuat kebijakan yang tidak mendukung cita-cita guru, maka yang terjadi pemerintah bertepuk sebelah tangan alias gayung tidak bersambut.

Komplain masyarakat (orangtua, siswa) jika anaknya tidak lulus, maka sasaran pertama adalah sekolah dan guru. Sementara pihak pemerintah tidak mau "tangannya kotor" karena kebijakan yang kontraproduktif. Kalau boleh menoleh ke belakang tepatnya tahun 2006, reaksi pengumuman kelulusan tahun 2006 merupakan catatan buruk dalam perjalanan pendidikan bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, ada sekolah yang siswanya lulus nol persen. Artinya, siswa sekolah tersebut tidak ada yang lulus. Ada siswa yang tidak lulus hendak membakar sekolah. Ada siswa tidak lulus yang hendak melukai guru.

Para siswa yang tidak lulus melakukan demo yang ditujukan kepada guru mata pelajaran, pihak sekolah, DPR, DPRD, bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Siapa akar penyebab perilaku siswa tahun pelajaran 2005-2006 sampai seperti itu?

Bencana

Tampaknya tidak berlebihan jika realita penyelenggaraan UN 2006 merupakan bencana pendidikan nasional. Ada beberapa hal yang menarik dari penyelenggaraan UN 2006

Pertama, semakin kuat bukti bahwa sistem pendidikan nasional, utamanya pelaksanaan UN, hanya menekankan satu aspek saja, yaitu kognitif.

Semestinya evaluasi kelulusan berdasarkan penilaian pada tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor. Namun, yang terjadi saat ini, pemerintah melalui pranata pendidikan mempertahankan diri dengan berpegang pada sisi kognitif, sementara dua ranah lain (sengaja) diabaikan.

Kedua, siswa-siswi ditekan untuk selalu berprestasi dengan nilai tinggi. Mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan. Ikut try out di sana-sini. Mengikuti bimbingan belajar, bahkan mencari kunci jawaban.

Siswa-siswi di kelas, bahkan di sekolah, "menelan" mentah-mentah ideologi, peringkat satu, tanpa diajak menggali ranah afektif dan psikomotor.

Ketiga, dari pengumuman kelulusan, ada siswa dengan prestasi hebat di tingkat nasional, bahkan Asia, ternyata tidak lulus. Ada siswa-siswi yang sudah diterima di perguruan tinggi dengan jalur prestasi, toh saat pengumuman tidak lulus.

Di sisi lain, ada juga SMA di Malang, pelajar kelas III yang jarang sekali masuk sekolah, sering berkelahi, perilaku kurang berkenan, saat pengumuman bukan hanya lulus, ia meraih nilai tertinggi di antara teman-temannya, bahkan mengungguli pelajar yang rajin dan pintar sekalipun.

Artinya, negara sebagai pihak penyelenggara UN memiliki kemampuan yang sangat terbatas menilai perilaku siswa-siswi dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Negara hanya tahu dari satu sumber, yaitu UN, itu pun lewat ranah kognitif.

Keempat, berpijak dari hal ketiga, tampaknya ada yang tidak beres dalam pemeriksaan jawaban. Pemeriksaan dengan menggunakan teknologi komputer besar kecenderungannya terjadi kesalahan teknis, seperti mengarsir yang salah, saat mengarsir terlalu tebal atau terlalu tipis, pensil yang tidak sesuai dengan ketentuan, lembar jawaban komputer kotor, ada coretan, atau kena lipat. Bisa juga masalah software.

Alhasil, bisa jadi kegagalan atau keberhasilan siswa-siswi bukan berdasar pada kemampuan yang kurang atau lebih, tetapi lebih pada faktor teknis. Kalau hal ini sungguh terjadi, alangkah sayangnya energi guru dan siswa belajar mati-matian, penentunya adalah faktor teknis.

Entah sampai kapan diskusi, seminar, opini, dan debat terbuka tentang penyelenggaraan UN berlangsung. Sudah berapa pakar dan praktisi pendidikan menyampaikan pandangannya tentang UN.

Pihak eksekutif (Baca: Mendiknas) juga tidak kalah gencar menyampaikan penjelasan tentang pentingnya pelaksanaan UN. Perlu disadari, penjelasan dari pihak eksekutif bersifat linier, garis lurus, di atas kertas. Pertanyaannya adalah seberapa dekat analisis, penjelasan pihak eksekutif itu, dengan kondisi lapangan pendidikan bangsa ini.

Kalau memang Mendiknas beserta jajarannya bersikukuh mempertahankan pelaksanaan UN, saya berharap hal itu tidak menjadi penentu kelulusan. Sebab, UN tidak dapat menilai dua ranah penting lainnya, yang diketahui persis oleh guru, dewan guru.

Kukuh Widyatmoko
Guru Sosiologi SMAK Santa Maria, Malang

*) Sumber Kompas 14 Oktober 2006

0 comments: