Wednesday, May 27, 2009

Dimuat Media Massa; dapat Nilai Seratus, Bebas Ulangan Harian

Menggairahkan Minat Menulis di SMA K Santa Maria Malang
Untuk sekadar menulis, pastinya semua siswa sekolah bisa melakukan. Namun untuk menulis satu karya kreatif yang ‘layak’ disuguh-bagikan pada khalayak pembaca, tentu tidak semua siswa bisa membuatnya. Hambatan yang seringkali dijumpai, siswa merasa kesulitan menemukan ide untuk tulisan juga terkendala metode untuk menuangkan ide dan pemikiran tersebut, menjadi satu tulisan yang enak dan ‘layak’.
Namanya juga siswa, tentu dari pihak sekolah dan guru harus bisa menjadi penyemangat siswa untuk menulis kreatif ini. Di SMA K Santa Maria Kota Malang misalnya, diciptakan suasana kompetisi bagi siswa agar terdorong untuk menulis. “Kompetisi ini tidak hanya berlangsung di kelas, kami memberi kebebasan siswa untuk membuat tulisan yang layak dimuat di media massa,” jelas guru Sosiologi, Kukuh Widyatmoko SH MPd.
Bagi siswa, kompetisi ini tentu butuh kerja keras dan pihak sekolah amat menghargai kerja keras itu. Kukuh menyebut bila ada tulisan yang dimuat di media massa, siswa tersebut akan mendapat nilai seratus dan tidak perlu mengikuti ulangan harian. “Bagi yang tidak dimuat, ya harus tetap mengikuti ulangan harian agar bisa memeroleh nilai seratus,” tegasnya.
Penghargaan yang begitu tinggi atas karya siswa ini tentu tidak pada sembarang karya. Kukuh juga menjelaskan bila tidak semua tulisan siswa yang dimuat mendapat nilai seratus. Hanya tulisan yang mencantumkan nama sekolah sebagai keterangan di bawah nama penulis. “Ya ada kebanggaan tersendiri melihat nama sekolah tercantum di media masssa, jadi sekalian bisa promosi sekolah kepada khalayak masyarakat,” ujar Kukuh.
Selain suasana menulis yang kompetitif, pihak sekolah juga mensupport siswa dengan mengenalkan beragam bentuk tulisan. Pada semester pertama, biasanya siswa ditugasi menulis surat pembaca yang ada dibeberapa media massa. Menurut Kukuh yang mengajar di kelas X dan XI ini, bentuk tulisan untuk surat pembaca lebih ringan, baru pada semester berikutnya model penulisan meningkat menjadi opini.
”Biasanya saya juga memberikan outline sebelum menulis berupa isi penulisan surat pembaca maupun opini. Sebuah tulisan harus menyajikan fakta, permasalahan yang diangkat, pembahasan dan solusi yang ditawarkan. Dilanjutkan dengan penutup berupa kesimpulan,” ujar Kukuh.
Pengenalan outline ini tentunya dapat membantu siswa untuk menulis dan mengembangkan pemikiran. Kukuh juga menerima konsultasi selama ada siswa yang kesulitan. ”Namun, saya tidak menilai tulisan tersebut baik atau tidak, karena setiap media massa memiliki penilaian berbeda. Jangan sampai saya terlanjur bilang tulisan ini baik, tapi tidak diterbitkan oleh media,” tukas Kukuh.
Kukuh menuturkan, tema naskah tulisan sudah ditentukan sebelumnya. Tema naskah ini diambil dari materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Menurut Kukuh, cara menulis ini berbeda dari sekadar menghapal materi. Sebelum menulis, siswa diharuskan memiliki banyak referensi dan memelajari beragam permasalahan yang ada. Selain itu, siswa dapat menentukan teori yang dipergunakan untuk menganalisis permasalahan yang terjadi.
Kukuh juga mewajibkan siswa menulis minimal lima ribu karakter. ”Saya memberi pengertian pada siswa bahwa media berhak mengedit tulisan yang masuk. Jika siswa hanya mengirimkan 3-4 ribu karakter, maka setelah dilakukan pengeditan naskah ternyata jumlah karakter tidak sesuai dengan kebutuhan kolom yang tersedia. Ini sebagai antisipasi, sehingga kemungkinan dimuat tinggi,” kata Kukuh.
Menurut Kukuh, menulis menjadi sarana untuk mengembangkan tanggung jawab intelektual terhadap ilmu yang dipelajari. Selain itu, naskah yang dimuat dapat menjadi ajang aktualisasi diri, karena pemikiran mereka dibaca banyak orang. Keuntungan lain dari menulis ialah dapat menjadi poin lebih, sebagai siswa plus penulis. “Ada beasiswa pendidikan yang memerhatikan kemampuan tambahan, seperti menjadi penulis,” tuturnya mantap.
Namun, Kukuh mengeluh tidak semua media menampung secara khusus naskah tulisan dari siswa sekolah. Alamat elektronik yang diberikan pada siswa hampir kebanyakan adalah majalah. ”Saya juga mengarahkan siswa supaya mengirimkan naskah sesuai kebutuhan media tersebut. Jika majalah psikologi, maka naskah yang dikirimkan hendaknya berkaitan dengan psiklogi,” pungkas Kukuh. (Restu - KP)
*) Sumber Koran Pendidikan 2 Juli 2008

0 comments: