Monday, September 14, 2009

Mewaspadai Sosialisasi Kalangan Remaja


Surya tanggal 23 Juni 2009 halaman 12, pojok kanan, atas, memberitakan, mantan pesinetron cilik berusia 13 tahun mengaku harus mencicipi asmara dengan lawan jenis. “Ini tuntutan peran dalam sinetron terbaru yang menjadikan saya perempuan dewasa berusia 20 tahun, dan saya tidak keberatan.” Hal tersebut dilakukan dengan alasan mencoba profesional.


Lain halnya dengan pemberitaan Surya Tanggal 25 Juni 2009, dengan judul utama “Siswa SMP Joki Rampok Suramadu.” Siswa tersebut kelas III SMP, 15 tahun, berinisial S. Bersama temannya berusia 20 tahun berinisial H. Berdasar pemberitaan tersebut terungkap, pelaku berinisial H mengaku sudah enam kali mencuri, sedangkan siswa SMP terlibat empat kali pencurian.


Sekilas kedua pemberitaan tersebut sangatlah berbeda dari beberapa sudut pandang. Seperti, jenis kelamin pelakunya, jenis tindakannya, latar belakang sosial ekonomi dan sifat tindakannya. Namun persamaannya adalah golongan usia dan kepentinganya.


Ketika mencermati kedua pemberitaan tersebut ada hal memprihatikan dan perlu diwaspadai. Dan, kondisi tersebut merupakan sebagian kecil potret buram golongan remaja di masa transisi. Memang hal biasa tetapi menjadi tidak biasa saat dikaji menggunakan perspektif sosiologis.


Sosialisasi

Bahwa setiap individu memiliki karakter. Dan, karakter individu terbentuk dari hasil sosialisasi. Sosialisasi menurut G.H. Mead adalah individu mengadopsi kebiasaan sikap dan ide-ide dari orang lain dan menyusunnya kembali sebagai suatu sistem dalam diri pribadinya. Sosialisasi, lebih dalam lagi menurut Prof. Koentjaraningrat, merupakan seluruh proses seseorang individu sejak masa kanak-kanak sampai dewasa, berkembang, berhubungan, mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu lain yang hidup dalam masyarakat sekitarnya.


Inti sosialisasi adalah upaya adaptasi, menyesuaikan diri terhadap hal-hal di luar dirinya (nilai, ide, pola, proses sosial) yang hidup dan berlaku dimana seseorang individu berada dan hidup dalam masyarakat tertentu. Hasil adaptasi dan upaya menyesuaikan diri adalah sikap, karakter individu. Tujuan dari sosialisasi agar diterima oleh masyarakat di mana seorang individu tersebuat berada dan hidup.


Bukti, seorang berada dan hidup dikalangan masyarakat artis maka seorang individu tersebut mau-tidak mau menyesuaikan, mengadopsi, mengadaptasi hal-hal yang ada dan hidup di kalangan masyarakat artis tersebut. Pun, seorang pelajar yang ada dan hidup dimasyarakat pelaku tindak kriminal maka mau-tidak mau menyusun sistem pribadinya sesuai dengan pelaku-pelaku tindak kriminal.


Kekhawatiran

Apa yang mengkhawatirkan sekarang ? Jelas semakin banyak seorang individu berapa pun usianya berupaya keras agar dapat mendapat status sosial artis. Bahkan orang tua pun mendorong sekuat tenaga agar anaknya menjadi artis. Sejak kecil anaknya diikutkan berbagai macam kegiatan dengan tujuan jadi artis. Ketika sudah menjadi artis, seorang individu tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Seorang individu tidak bisa semaunya sendiri. Masuk kalangan artis harus siap dengan karakter yang bukan dirinya sendiri. Juga bagi remaja yang sehari-hari hidup, berinteraksi secara intensif dengan pelaku kriminal, maka individu tersebut tidak akan menjadi dirinya sendiri. Karena masyarakat sekitar dimana seorang yang hidup dikalangan artis harus hidup sesuai nilai (value) artis, individu bergaul dengan pelaku kriminal harus melakukan nilai (value) kriminal.


Maka jelas, seorang anak yang belum waktunya bertindak dewasa, karena nilai (value) sosial yang berlaku dikalangan artis, maka melepaskan karakter keremajaannya itu demi, tuntutan peran menjadi kewajiban. Meskipun hanya peran dewasa, secara sadar dan tidak sadar, peran dewasa mesti diinternalisasikan agar sungguh dapat memerankannya. Sedangkan remaja pelaku kriminal, mestinya berteman dengan kalangan sebaya dengan bermain secara normal, karena temannya pelaku krinimal maka bukan melakukan permainan secara normal, tetapi malahan melakukan tindakan kriminal.


Banyak anak kecil bahkan remaja, melakukan peran yang tidak sesuai dengan usia dan dunia mereka. Seperti, anak kecil main sinetron tetapi melihat bahkan korban kekerasan, pemerkosaan, melakukan peran kriminal. Memang efek jangka pendek, seorang anak belajar melakukan tindakan yang tidak semestinya sesuai dengan kondisi metal, psikis. Dan, ini terekam dalam hati dan pikiran seorang anak.


Akibat berikutnya, akan menjadi pengalaman sosial yang buruk terekam. Ini sangat buruk dapaknya di waktu mendatang. Memang untuk menetralisir alasan pembenarnya adalah tututan peran atau lebih kerennya pemain sinetron profesional, bisa memerankan apa pun. Tetapi jika seorang remaja melakukan peran dewasa, seperti berciuman, berdekapan, bahkan tidur seranjang, bagaimana ?


Demikian dengan seorang individu remaja, yang sehari-harinya membicara, mempelajari melakukan tindakan kriminal yang cepat, tepat dan efisien. Hari-harinya remaja tersebut membicarakan bentuk-bentuk tindakan kriminal. Bagaiaman caranya, dimana tepat yang layak untuk melakukan operasi. Dalam otak pikiran didominasinya hanya, dimana dan kapan melakukan tindakan kriminal.


Sekali lagi dua cerita di atas hanyalah protret kecil perilaku menyimpang dari sosialisasi yang tidak sempurna di kalangan remaja. Media televisi dengan aneka tayangan sinetron berlomba-lomba mencari dan melambungkan remaja untuk menjadi pemain sinetron dengan peran yang semakin jauh dari diri remaja dengan imbalan sejumlah uang. Demikian pula remaja melakukan tindak kriminal bertujuan ekonomis atau sejumlah uang.


Penutup

Dua hal tersebut memberikan gambaran riil bahwa di kalangan masyarakat (remaja) hidup budaya ngompas, kata Koentjaraningrat. Yaitu mendapat status sosial yang belum waktunya dengan cara yang tidak sesuai dengan kondisi individu yang bersangkutan dengan harapan imbalan sejumlah uang dengan cepat.


Akibat dari sosialisasi yang tidak sempurna tersebut di atas adalah perilaku menyimpang oleh remaja. Dan perilaku menyimpang tersebut termasuk kategori perilaku menyimpang sekunder. Karena perilaku menyimpang tersebut dilakukan berulang kali atau lebih dari satu kali.


Kondisi tersebut menjadi tanggungjawab semua pihak. Salah satu upaya individu mengendalikan perilaku menyimpang akibat dari sosialisasi yang tidak sempurna adalah bersosialisasilah sesuai dengan kondisi diri sendiri dan sesuai dengan nilai (value) secara umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa bukan berdasar kelompok kecil terlebih nilai (value) tersebut menyimpang. Sebagai pihak yang lebih dewasa hendaklah menanamkan nilai (value) yang sesuai dengan remaja.


Penulis

Kukuh Widyatmoko, Dosen Pascasarjana Programm Pendidikan IPS Universitas Kanjuruhan Malang, Ketua Kelompok Studi Kebijakan Publik “BILIK” Malang.


Tinggal di :

Jalan Janti Barat C Dalam / 3 Malang 65148

Telp 087859585572

0 comments: